
Jetsiber.com - PEKANBARU - Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Organisasi Masyarakat (Ormas) Pemuda Tri Karya (PETIR) mendesak Agar Satgas Penertiban Kawasan Hutan yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan agar segera melakukan tindakan terhadap objek Hukum PT. Palm Lestari Makmur dalam Kawasan yang telah menjadi Perkebunan Sawit.
Dugaan kebun sawit dalam kawasan dengan seluas 1.260 hektare tersebut yang dikelola oleh PT. Palm Lestari Makmur sejak lama belum tersentuh, bahkan belum masuk Ploting dalam agenda Satgas PKH.
"Saya sudah Kroscek, PT. Palm Lestari Makmur belum masuk Radar Satgas PKH. Padahal ada 14 Perusahaan Raksasa kebun sawit dalam kawasan, serta 23 Perusahaan kebun sawit dalam kawasan yang sudah masuk Ploting Satgas PKH yang terdiri dari BPKP, TNI Tiga Matra, BIN, Kejaksaan Agung Serta Polri sesuai Perpres No. 5 Tahun 2025," ujar Jackson.
"Ia menambahkan, Perusahaan perkebunan sawit PT. Palm Lestari Makmur diduga akan menciptakan Modus baru seperti kelompok tani untuk mengelabui atas kepemilikan perusahaan tersebut," sebut Jackson.
"Kita juga menduga, saat ini Perusahaan PT. Palm Lestari Makmur sedang membuat Kelompok Tani, bisa jadi mengelabui Satgas PKH," ujarnya.
Menurut DPN PETIR, PT. Palm Lestari Makmur yang berkantor di Jalan Narasinga, Kampung Besar, Kota Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau harus segera disita.
"Demi kekayaan Negara Satgas PKH jangan tidur, karena Dalam waktu dekat akan ada aksi di kementerian Pertahanan. kami berharap PT. Palm Lestari Makmur agar segera ditindak," tegas Jackson.
"Selain itu, pihaknya juga berharap, Pidana Badan juga diberlakukan bagi pemilik perusahaan PT. Palm Lestari makmur. Selain melakukan penyitaan, Pidana juga harus dilakukan," ujarnya
Sebelumnya, Ketua Umum DPN PETIR, Jackson Sihombing, mengungkapkan bahwa PT. Palm Lestari Makmur diduga beroperasi tanpa Hak Guna Usaha (HGU) sejak tahun 2007 hingga saat ini.
Lebih mengejutkan, lahan perkebunan sawit perusahaan tersebut disebut-sebut berstatus sebagai Hutan Produksi Tetap (HPT) dan Hutan Produksi yang telah dikonversi (HPK). Namun, secara kontroversial, perusahaan ini tetap mengantongi Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP).
"Kerugian negara akibat aktivitas PT. Palm Lestari Makmur sangat besar. Bagaimana bisa izin usaha perkebunan diterbitkan di lahan yang masih berstatus HPT dan HPK, sementara HGU pun tidak dimiliki?," ujar Jackson.
Ia menambahkan bahwa PT. Palm Lestari Makmur juga mengantongi izin lokasi Nomor: 34 Tahun 2007 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu, serta surat pertimbangan teknis dari Dinas Kehutanan tertanggal 12 Februari 2007. Namun, menurut DPN-PETIR, izin-izin tersebut diperoleh secara tidak prosedural.
"Dokumen yang kami temukan semakin menguatkan dugaan bahwa PT. Palm Lestari Makmur beroperasi dengan melanggar hukum. Proses perizinannya terindikasi sarat kolusi dan nepotisme," tegasnya.
Lebih lanjut, Jackson membeberkan bahwa berdasarkan surat dari Kementerian Kehutanan Nomor S.657/Menhut-II/KUH/2013 tertanggal 17 Juni 2013, permohonan pelepasan kawasan hutan oleh PT. Palm Lestari Makmur telah ditolak. Namun, hingga kini, perusahaan tersebut masih beroperasi.
Dugaan kerugian negara, Jackson menguraikan sejumlah potensi kerugian negara yang disebabkan oleh aktivitas PT. Palm Lestari Makmur, diantaranya:
▪︎ Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang tidak dibayarkan sejak 2007 diperkirakan mencapai Rp8,5 miliar.
▪︎ Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tidak disetorkan sejak 2014 mencapai Rp10 miliar.
▪︎ Potensi kerugian dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) atau HGU sekitar Rp6 miliar.
▪︎ Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 yang tidak dibayarkan sejak 2014 sekitar Rp3 miliar.
▪︎ Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang belum disetorkan sejak 2014 mencapai Rp25 miliar.
▪︎ Pajak atas transaksi jual beli saham yang tidak dilaporkan, dengan potensi kerugian negara sekitar Rp2,8 miliar.
▪︎ Kerugian negara lainnya dari sisi pajak, termasuk PPh Pasal 23, PPN KMS, dan PPh Pasal 4 Ayat 2.
"Itu belum termasuk kerugian negara akibat perusakan lingkungan dan ekosistem, serta provisi sumber daya hutan yang seharusnya dibayarkan," tambah Jackson.(*)
Sumber: DPN-PETIR
Editor | : | L.SIREGAR |
Kategori | : | Hukrim |
silakan kontak ke email: [email protected]



01
02
03
04
05

